Ada satu buku yang lagi happening in town. It's "Cerita Cerita Jakarta", I think isinya kayak antologi tulisan mengenai Jakartans story gitu si. Terus gue sedih sendiri karena ga diajak nulis (?) *lah lau sokap
Canda bos, tapi ada benernya dikit. Padahal gue merasa gue kan "batavian parahhh", sampe punya akun batavianmade sendiri. Ya pengen gitu lah ngeksis juga di Cerita Cerita Jakarta - aktualisasi diri kalo gue beneran orang Jakarta! (Maklum, soalnya dari screening tinggi badan gue udah ga mumpuni buat ikut abang none jadi merasa kalo nulis ginian mungkin masih bisa tercapai).
Oke karena gue ga diundang (lagian elu siapa Ay, masuk circle penulis juga kaga - tulisan di blog ini juga isinya ampasan wkwkwk), gue mau cerita tentang Cerita Jakarta Ala Gue Sendiri!
---
Alkisah, 22 Mei 2021 seorang gadis sebut saja A (belakangnya -ya) lah gue dong hendak menghadiri vaksinasi ke-2 di Senayan. Singkat cerita, si A dapet vaksin gratis program dari kantor tempatnya bekerja. Dari semalam sebelumnya memang sudah niat bangun pagi, sehari sebelumnya pak bos curhat beliau dateng jam 7.30 kelar jam 9.30. "Wah 2 jam doang kalo dateng pagi, jauh lebih cepat daripada terakhir kali gue datang vaksin, datang jam 10 kelar jam 14", batin si A.
Dikerahkannya seluruh tenaga untuk bangun pagi. Setelah mandi, A pun sarapan sekenanya lalu segera memesan ojek online dengan destinasi Stasiun MRT Fatmawati. Jalanan Sabtu pagi memang cukup lengang. Udara masih sejuk dan angin masih sepoi-sepoi, walaupun pakai masker rasanya juga masih tetap dingin. Setelah 15 menit berjalan, tiba-tiba gerimis tipis-tipis. Ah kalau masih gerimis rasanya tidak perlu turun untuk pakai jas hujan. Tapi abang ojek berkata lain, "Mba, mau menepi dulu untuk pakai jas hujan?". Sebetulnya gak perlu ribet sampai turun juga sih, tapi toh sedang tidak dikejar waktu juga jadi mungkin ada baiknya pakai jas hujan buat jaga-jaga. "Saya pakai yang poncho aja ya pak", ujar A seraya meletakkan handphone nya di bagian selipan punggung backpack-nya.
Motor pun menepi dan A turun dari motor tanpa menyadari handphone-nya terjatuh ke tanah.
"Mba, hp nya jatuh", ucap abang ojek.
"Waduhhh iya gak sadar saya" balas si A. Reaksinya agak lebay, padahal hp nya sudah sering terjatuh. Pakai tempered glass sih, jadi A sebetulnya tidak terlalu khawatir. Lalu dipungutnya hp tersebut kemudian tak acuh memasukkan kembali hp nya ke selipan yang sama.
Hp nya jatuh lagi.
Ah.. begonya, batin si A. Saking sibuknya memakai poncho, sampai-sampai tidak ada waktu untuk berpikir bahwa selipan tas tersebut memang sebetulnya bolong. Maklum, backpack baru, belum hafal-hafal amat detilnya. "Aduuuh jatuh lagi, maaf ya pak", entah kenapa A minta maaf sama abang ojek. Mungkin reflek. A pun memungut hp nya kembali kedua kalinya dengan rasa malu lalu menyelesaikan proses pakai ponchonya supaya bisa segera melanjutkan perjalanan. "Untung pakai masker, jadi ga keliatan amat muka malunya", A mengucap dalam hati.
Sesampainya di Stasiun MRT Fatmawati, A turun dari motor dan abang ojek pun tak lupa mengingatkan "Hp nya gak jatuh lagi kan mba?". Setelah selesai merapikan poncho A pun berterima kasih kepada abang ojek lalu segera naik ekskalator.
Tiba di pintu masuk MRT, ternyata masih aja ada pemeriksaan. A sudah menyodorkan tangannya, padahal ternyata tidak perlu karena pemeriksaan suhu ternyata sudah dilakukan via kamera. Astaga malu banget. Ternyata butuh periksa tas. Hah.. ini backpack buat laptop ada 4 bukaan, kalau mau diperiksa bagian mana yang mesti dibuka? A pun asal membuka resleting pertama yang disentuh tangannya. Bodo amat deh tidak usah diperiksa semua, paling juga cuma formalitas petugas.
A masih gagal paham sama konsep MRT yang masih mengharuskan pemeriksaan barang secara manual oleh petugas. Kayak, kenapa gitu? Pertama, kalau orangnya punya tas ribet dan banyak bukaan seperti A, apa tidak membingungkan harus memeriksa bagaimana? Kedua, kalau kondisi stasiunnya lagi peak hour apa tidak jadi bottleneck ya? Aneh banget lah. Padahal sebetulnya di stasiun MRT itu udah ada alat pendeteksi tubuh dan barang bawaan juga kayak di mall-mall, jadi si pemeriksaan manual ini buat apaan sebenarnya.
Selepas tap kartu, A pun melipir ke kamar mandi. Cuci tangan, cuci kuku soalnya tadi habis memungut hp dari tanah.
---
Setibanya di Senayan (lokasi yang sama saat vaksin pertama), A pun bingung dengan signage yang gak jelas. Akhirnya biar cepat, tanya petugas aja supaya bisa mengarahkan antre dimana. Petugas pun mengarahkan ogah-ogahan, mungkin karena lagi sibuk nyambil kerjaan lain juga.
Ah, aneh banget. Vendor vaksinasi ini bisa bikin mobile app tapi bikin signage aja gak bisa. Lagi-lagi, bikin bete. Sebetulnya bete karena jadi harus ngomong sama orang pagi-pagi padahal nyawa belum kumpul.
A pun mengantre dan sekilas melihat seseorang mirip teman kantornya. Hmm, kalau dalam kondisi normal A sudah pasti menyapa. Tapi entah kenapa pagi itu karena bawaan masih kumpulin nyawa, sarapan seadanya, dan masih belum mood untuk menyapa orang jadi A berpikir untuk menyapa lagi nanti. Atau mungkin menunggu sampai disapa olehnya.
Di dalam tas, A memang sudah selalu menyiapkan buku bacaan kemana pun dia pergi dan kalau dirasa akan ada proses menunggu yang membosankan. Sebisa mungkin dia membaca dimanapun dia ingin dan tempatnya memadai. Dia pun mengantre berdiri sambil baca buku. Aduh, seru banget ceritanya. Pas lagi asik-asik baca buku karena mulai masuk bagian klimaks, kemudian halaman ke-98 hilang. Lah... antiklimaks.
Ternyata halaman 98-127 ngawur semua. Entah hilang, entah acak. Pokoknya ngawur. Sebetulnya ini adalah buku ke-sekian yang A beli dari Penerbit X. Di setiap bukunya, Penerbit X selalu menyelipkan halaman terakhir untuk informasi dan panduan retur buku apabila bukunya cacat. Selama ini ketika membaca buku lain tidak ada masalah, tapi tidak disangka juga ternyata kejadian juga. Kirain rasio kejadian tersebut adalah 1:100000. Ternyata apes juga ya dapet itu.
Mood makin ancur lah, sudah panas, pegel berdiri, ditambah kini tidak ada bahan bacaan. Pusing googling sana-sini dimana ya tempat pengiriman paket terdekat supaya hari itu sekalian bisa langsung kirim retur buku. Mana jauh banget alamat retur bukunya ke Ponorogo, Jawa Timur. Duh, berapa hari ya buku barunya sampai? Nanggung banget ceritanya.
---
Antre berdiri hampir 2 jam hanya untuk registrasi. Ditambah 1 jam terakhir yang cukup sengsara karena tidak ada bahan bacaan jadi hanya main hp saja. Teman kantor A pun terlihat lebih dulu mencapai meja registrasi, lalu tatapan mata A dan temannya bertemu akhirnya terjadilah proses saling sapa. Ah ya, refreshing juga setelah 2 jam tidak ngobrol sama manusia lain selain bilang "maaf" ke orang yang antre di depan karena tidak sengaja menginjak sepatunya ketika lagi jalan.
Akhirnya tiba giliran A untuk ke meja registrasi. A pun sudah siap dengan dokumennya; formulir, fotokopi KTP, bukti undangan dll. Ternyata yang dibutuhkan formulir dan KTP asli. Aduh, mesti rogoh dompet buat ambil KTP. "Aduh, benerin deh rambu-rambu lo kalau butuh KTP asli tulis dimana kek gitu jadi kan bisa disiapin duluan", batin A.
Petugas registrasi pun mengecek KTP dan membandingkan dengan formulir lalu memberi stempel dan paraf. Hah... kalau dipikir-pikir nih, gitu doang sampai hampir 2 jam? Apa gak ada cara lebih baik pakai teknologi? Ini vendor lu kan sudah punya mobile app, apa benar-benar gak ada cara lain? Gagal paham lagi.
Setelah registrasi, seluruh peserta vaksinasi diarahkan menuju tempat asesmen. Sebelumnya semua peserta diberitahu oleh petugas bahwa akan dicek bukti keikutsertaannya dalam program vaksinasi. Beberapa hari sebelumnya, kantor A menyarankan pada semua karyawan untuk mengeprint sertifikat vaksin pertama supaya kalau ditanya petugas nantinya tidak terjadi kontak langsung dengan handphone. Namun sepertinya yang petugas maksud kali ini adalah bukti screenshot lain. Untuk jaga-jaga, A pun mengambil screenshot yang dimaksud, tapi tetap tidak mau mengeluarkan handphone.
Tibalah seorang petugas mendatangi A yang sedang duduk dan hendak memeriksa bukti tersebut. A pun memperlihatkan sertifikatnya.
"Maaf Bu, maksudnya yang di website" ujar petugas tersebut.
"Lah ini udah ada sertifikatnya malah, bukti apalagi yang lebih bukti sih" dumel si A. Padahal dia sudah tahu juga kalau bakal ditanya screenshot dari website.
"Maaf Bu, untuk memastikan saja"
Dengan berat hati, A pun memperlihatkan handphonenya walau sebetulnya agak males dan bete juga sih karena mesti rogoh kantong celana untuk ambil hp. Hari itu A pakai baju terusan panjang sehingga kalau mau ambil hp di kantong memang harus agak menyingkap baju terusannya. Ribet memang. Tapi selera fesyen A memang konsepnya adalah "kadang ribet".
Gagal paham lagi. Buat apa pula sih dicek screenshot website kalau cuma dilihat sepersekian milidetik padahal udah jelas-jelas ada hardcopy yang bisa dengan leluasa dipindahtangankan. Sudah jelas gak bakal keliatan juga tulisan nama dan NIK yang ada di screenshot itu. Kalaupun kelihatan harusnya dibandingkan dengan nama dan NIK yang ada di form bukan? Bagaimana kalau kita asal comot screenshot download-an dari Google? Apakah petugas akan tetap meloloskan kita ke ruangan berikutnya? Toh bagi kalian yang penting hanya tunjukkin handphone dengan screenshot bukan?
Formalitas di negara ini memang kayaknya sudah terlalu diromantisasi.
Selang 30 menitan berlalu, akhirnya giliran A buat diperiksa dan diwawancara petugas. Cek suhu dan tensi darah lalu juga ditanya bagaimana apakah hari ini sehat dsb. Ya, alhamdulillah sehat. Padahal dalam hati sudah ingin jawab, agak terguncang mental ini setelah diharuskan ngantre panas-panas satu setengah jam.
Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya A masuk ke bilik penyuntikan, A pun seraya menutup tirai bilik penyuntikan. Kan pakai kerudung, jadi tidak boleh dilihat laki-laki dong. Saat A sedang sibuk menyingsingkan bagian bajunya sebelah kiri untuk disuntik, ada laki-laki masuk ke dalam bilik. A pun sudah dalam kondisi membuka lengan baju sebelah kirinya.
"Mba, kok ada laki-laki ya?", bisik A yang cukup kaget karena saat vaksin pertama laki-laki disuntik di luar, tidak di dalam bilik.
"Hmm, iya nih masuk-masuk aja.." balas petugasnya. Sepertinya dia juga bingung mau mengusir tapi kondisinya laki-laki itu juga sedang mempersiapkan proses penyuntikan.
"Ya sudah mbak cepat aja ya kalau gitu", ucap A seraya menarik napas dan menahannya.
Se-level negara saja memang sudah banyak bobroknya, apalagi di level eksekusi program kerja seperti ini ya seharusnya sebagai rakyat kita memang harus pandai-pandai tahu diri dan tidak mengharapkan apa-apa. Walau agak kaget entah darimana ada laki-laki nyelonong masuk, tapi kalau dipikir-pikir, ya sudah biasa juga orang Indonesia abai dan tak acuh seperti itu. Termasuk si A yang abai dan tak acuh karena sedang tidak ingin ambil pusing karena hal tersebut.
---
Selesai juga prosesnya. A pun menuju pintu keluar namun diarahkan ke ruang observasi selama 15 menit. Observasi? Proses apa ini? Sebelumnya tidak ada. Di ruangan observasi banyak orang duduk-duduk. A yang tidak mengerti orang-orang ini sedang apa pun akhirnya memastikan kepada petugas ini proses apa dan apakah wajib atau tidak. Observasi pada dasarnya adalah mengistirahatkan tubuh selama 15 menit untuk memantau reaksi selepas vaksin. Karena banyak orang di ruangan tersebut dan tidak nyaman, A pun memutuskan mendinginkan diri sambil cuci tangan di kamar mandi.
Setelah dirasa tubuhnya cukup dingin dan kuat untuk berjalan lagi A pun segera menuju pintu keluar. Namun, tiba-tiba dihadang oleh SPG yang menawarkan kopi susu. A pun sebetulnya enggan beli kopi tersebut karena malas keluarin dompet. A pun beralasan tidak suka kopi. Bohong. Padahal A penggemar berat kopi. Tapi SPG tersebut cukup memaksa dan berdalih untuk membeli kopinya sebagai penglaris karena belum ada yang beli daritadi.
Yah, terlepas dari dia bohong atau tidak, sebagai sesama karyawan A pun mengerti perasaan SPG tersebut yang harus mencapai target sales tertentu. Lagipula, awalnya A sudah berbohong juga jadi kalaupun ini instant karma rasanya juga tidak apa. Harga kopinya 20 ribu rupiah. Cukup mahal untuk harga kopi yang merknya belum pernah A dengar sebelumnya. Karena ragu kalau-kalau rasanya terlalu manis untuk lidah A, dia pun memberikan kopi tersebut kepada satpam di gerbang keluar. A pun segera menuju stasiun MRT.
---
"Ya ampun apakah ini satpam MRT yang tadi pagi atau udah ganti shift?", pikir A dalam hati saat melihat security MRT berdiri di posisi pintu masuk ke MRT bawah tanah. Kalau dipikir-pikir beliau juga berdiri terus ya kerjanya, sementara A ngantre 2 jam berdiri saja udah mendidih darah sekujur tubuh. Padahal juga 2 jam itu jauh lebih cepat dari sebelumnya 3 jam.
Lagian biar apa sih stasiun MRT dijagain seperti itu. Apakah mungkin supaya tidak ada pengamen dan pedagang asongan masuk ke dalam ya? Kalau di Singapore, Seoul maupun Taipei sudah ga mungkin rasanya ada petugas yang tugasnya khusus menjaga pintu masuk seperti itu di stasiun MRT.
A pun mengecek hp nya untuk mengabarkan temannya yang sebelumnya mengajak nongkrong bareng hari Sabtu itu. Ternyata belum ada pesan masuk, ah pasti temannya belum bangun. Jadi A hanya mengirimkan pesan kalau dia sudah selesai vaksin. Karena tidak ada kabar, A pun memutuskan untuk makan di kafe daerah Thamrin sembari berharap kalau ada tempat pengiriman paket terdekat disana.
---
Kereta MRT pun menuju Stasiun Bundaran HI. Untuk menuju ke kafe yang diinginkan, harus menyambung transportasi via Transjakarta ke Shelter Bank Indonesia.
A pun turun dari MRT dan bergegas menuju ke sambungan Shelter Transjakarta Bundaran HI. Duh ajegile, apes banget kudu tangga naik ke atas tinggi bener. Ini mah santai aja deh naiknya. Padahal di ujung ekor mata kita bisa melihat bus Transjakarta yang sedang mendekat. Tapi A ogah lari naik tangga. Rajin amat hari Sabtu gini, pikirnya.
Ternyata kondisi di luar hujan gerimis. Jalanan pun basah. Bau aspal kena air hujan memang mantap. Lumayan juga kalau dipikir-pikir udah setahun tidak naik Transjakarta. Kangen juga rasanya. Sebisa mungkin A menikmati detik-detik yang berjalan sembari menunggu bus berikutnya.
Sebetulnya A suka sekali commuting. Menurut A, commuting itu bikin capek tapi capeknya jelas (karena fisiknya dipakai). Bukan jenis capek yang kalau kita di kantor mumet tiap jam 4 sore habis meeting seabrek gitu lho. Namun kali ini agak kurang prepare juga yah commuting-nya, lupa bawa payung. Selepas turun di Shelter Transjakarta Bank Indonesia kondisi masih gerimis tipis-tipis. Tapi A paling anti banget menunggu tanpa arti, jadi tentunya dia terobos gerimis. Toh pakai kerudung ini, kalau dipikir-pikir setidaknya gerimis tidak kena langsung ke kulit kepala. Semoga sih tidak bikin pusing ya.
---
Sembari menunggu lampu hijau pejalan kaki untuk menyebrang zebra cross, A pun mengambil posisi di bawah pohon supaya tidak kehujanan-kehujanan amat. Tiba-tiba ada bapak-bapak paruh baya lewat di depan A sambil seraya berkata "awas, hujan neng". Ya ampun, udah tahu kali pak. Sungguh informasi yang sia-sia.
Lampu akhirnya hijau juga, berjalanlah A menyebrangi zebra cross. Menyebrangi zebra cross di Jakarta itu sebenernya bikin bahagia. Apalagi kalau habis hujan, makin dramatis. Serasa jadi model jalan di catwalk, dilihatin sama mobil dan motor yang lagi ngantre. Maklum, tinggi ga mumpuni jadi model, jadi ini satu-satunya catwalk yang bisa didapatkan. Caper banget ya. Bodo amat lah, yang penting menikmati jalan-jalan di Jakarta.
Setelah 5 menit berjalan akhirnya tiba juga di kafe dengan fasad yang cukup old fashioned. Kental banget interior ala kafe Indochina. Kondisi di dalam kafe tidak ramai, hanya ada 2 pengunjung lain selain A. Ia pun memilih meja dekat jendela agak berjauhan dengan pengunjung lain biar prokes aja.
"Untuk berapa orang kak?" tanya pelayan sembari memberikan buku menu pada A. A membala dengan memberi isyarat angka 1 dengan jari kepada pelayan tersebut.
"Sendiri maksudnya?" tanya pelayan itu lagi.
Ya ampun, gak usah dipertegas gitu dong. A pun mengangguk. Matanya memandangi seluruh penjuru ruangan sambil mengecek posisi AC ada dimana, karena jujur cukup gerah juga. Entah karena habis berjalan kaki atau memang karena AC nya tidak dingin.
"Di atas ada ruangan lagi mbak?" A bertanya karena ingin memastikan apakah ada ruangan lain yang bisa lebih sejuk dari ruangan ini.
"Di atas smoking area dan tidak ber-AC kak"
Waduh, AC aja segerah ini gimana kalau ke smoking area di atas ya. Akhirnya A memutuskan untuk tetap di tempatnya.
Setelah beberapa saat memilih menu akhirnya A pun memutuskan untuk memesan bakmi goreng djawa, lumpia goreng udang, dan kopi susu. Bakmi dan kopsus sebetulnya adalah pilihan aman ketika kita belum tahu cita rasa dari restoran tersebut. Lumpia goreng udang sengaja dipesan karena muncul di buku menu dan A kebetulan adalah penggemar berat segala spesies spring rolls, jadi sebenarnya dia pengen ngetes aja lumpia disini enak apa engga jika dibandingkan dengan spring rolls favoritnya.
Bakminya enak, kopi susunya lumayan, tapi lumpia gorengnya masih belum bisa mengalahkan rasa spring rolls favorit A. Oke, demikian lah penilaian kuliner Jakarta dari seorang amatiran. A pun memutuskan tidak ingin berlama-lama di kafe tersebut karena gelap dan AC nya gak dingin-dingin amat sebetulnya.
Oh iya, pas bayar A mesti memerhatikan jenis POS (point of sales) yang digunakan kafe tersebut. PR dari pak bos (banyakin observe POS yang dipakai di kafe-kafe buat next project di kantor). Hebat juga kafe yang berperawakan tradisional gini tapi mesin EDC nya banyak dan lengkap banget. Bahkan bisa terima berbagai macam e-wallet. Untuk cek jenis POS sebenernya mudah, cek aja di struknya.
---
Saat makan tadi, A sudah googling tempat pengiriman terdekat. Ternyata ada JNE di daerah sabang, cuma beberapa meter dari kafe tersebut. Mantap, akhirnya dewi efisien berpihak padanya kali ini.
Kantor JNE tersebut sepertinya bergabung dengan kantor travel agent. Hebat ya, Sabtu gini masih buka. Semangat ya buat para pekerja. Hidup karyawan!
A pun bergegas menghampiri petugas. Ada satu petugas laki-laki dan satu petugas perempuan. Secara default sih A sudah pasti memilih menghampiri petugas laki-laki. Alasannya sederhana, kalau menghampiri lawan jenis biasanya lebih gampang untuk minta bantuan. Kebetulan lagi kepepet banget karena ini mau kirim paket dadakan, jadi butuh bantuan ekstra.
"Mas, disini jual packaging gak ya? Saya mau kirim paket tapi belum punya bungkusnya", kata A seraya basa-basi kepada petugas. Padahal A sudah sering ke JNE, ya mana mungkinlah JNE jual packaging. Pan dia bukan warung.
"Memang mau kirim apa mbak?" tanya mas-mas petugas.
"Kirim buku sih, satu aja. Kayak mau retur buku gitu ke penerbitnya"
"Oh, paling nanti dibungkus plastik aja sih mba"
"Oh oke boleh", A pun bahagia karena dugaan dalam otaknya benar. Pasti ujung-ujungnya ni buku cuma digubet plastik doang.
Selain minta tolong untuk bukunya dibungkus, A pun juga nyusahin. Karena tidak punya stiker Tom & Jerry dan tidak ada kertas kosong akhirnya A minta kertas dan pinjam bolpen untuk nulis alamat. Tapi akhirnya selesai juga, walau sempat repot sedikit karena kode pos penerbitnya berbeda antara yang ditulis dengan yang ada di sistem JNE.
Saat tadi jalan menuju JNE, sebetulnya A sudah memantau ada dua kafe baru. A cukup hafal isi Jalan Sabang. Maklum, karena pas kuliah A jarang nongkrong di kampus dan lebih suka nongkrong sendirian daerah Cikini dan Sabang. Sembari jalan keluar menuju shelter Transjakarta, A pun sengaja melihat dua kafe baru tersebut dari dekat untuk melihat isinya. Setelah melihat isinya, ternyata kurang menggugah selera. Tadinya A berencana mau spontan ngopi lagi di salah satu tempat tersebut kalau isinya menarik. Tapi interior terlalu modern, kafe-kafe di Jakarta Selatan juga banyak yang seperti ini. Kalau ke daerah Kota memang sebaiknya pilih kafe-kafe interior tradisional aja soalnya lebih nyaman buat nongkrong (p.s: kalau AC nya dingin).
Sesampainya di perempatan, A agak bingung juga kalau Transjakarta arah sebaliknya ada dimana posisi shelternya. Cek Google, katanya sih belok kanan. A pun menyebrangi zebra cross tapi ternyata kosong tidak ada shelter di sebelah situ. Bikin capek aja. Ternyata justru shelternya ada di sisi jalan yang sedari tadi A sudah sambangi.
Hingga saat itu, teman A pun belum kunjung membalas pesan. Jadi A memutuskan untuk ke Grand Indonesia untuk membeli beberapa barang. Ketika tiba di shelter Transjakarta, A membunuh waktu dengan mencuci tangan di wastafel. Kalau ga ada tujuan, mungkin A bakalan duduk di bangku trotoar lalu memandang jalanan aja untuk membunuh waktu lagi. Toh masih ada sisa kopi susu tadi yang sudah dimasukkan ke dalam tumblernya, lumayan untuk teman melamun. Tapi karena sudah memutuskan untuk membeli barang di Grand Indonesia, jadi tidak ada alasan untuk melamun dadakan di pinggir jalan seperti itu.
---
Bus pun tiba di shelter depan Plaza Indonesia. Wah, ternyata view patung Bundaran HI saat keluar shelter itu berbeda ya (yaiyalah). Kalau dari arah sini, kita gak dipantatin lagi, tapi disambut. A pun mengeluarkan hp nya untuk mengambil foto barang sejepret.
Setelah itu ia harus menyebrang jalan agar tiba di pintu masuk pejalan kaki Grand Indonesia. Sebenarnya A sudah sering lewat pintu pejalan kaki Grand Indonesia, sudah tahu juga letaknya dimana. Namun pada saat itu mood iseng muncul, mungkin karena habis makan siang juga jadinya ada tenaga buat ngobrol sama orang random, akhirnya A bertanya iseng pada satpam masuk dari sebelah mana.
Lagi-lagi, masuk mall kudu ritual periksa tas manual. Lagi-lagi, A sembarang membuka bukaan tasnya tanpa peduli itu bagian mana. Biar hidup ini gak sunyi-sunyi amat, A pun dengan akrab berkata "isinya laptop doang pak". Lalu dipersilakan masuk. Tuh kan formalitas doang.
Setelah mendapatkan semua barang yang dibutuhkan untuk traveling berikutnya, A pun segera membayar di kasir kemudian bergegas ke Stasiun MRT Bundaran HI untuk pulang. Jujur, sebetulnya ada keinginan untuk mampir toko buku tapi kaki udah terlalu pegel untuk thawaf di mall lagi. Ditambah dengan backpack berisikan laptop yang tadinya direncanakan buat digunakan untuk kerja di kafe, tapi ujung-ujungnya gak jadi. Teman A pun ternyata sudah membalas pesan, katanya maaf baru sempat cek pesan karena tadi lagi beres-beres rumah. A pun membalas tidak apa-apa karena ini sudah arah mau pulang jadi next time aja ketemuannya.
Sebetulnya kalau dipaksakan mau ketemuan lagi setelah itu juga tidak apa sih. Toh kondisinya masih di luar rumah juga, jadi sekalian. Tapi kondisi fisik yang kian jompo memang tidak bisa bohong.
A pun memutuskan untuk turun di Stasiun Cipete Raya karena memang biasanya kalau naik MRT turun disini lalu tinggal janjian sama abang ojek online untuk ketemu di depan McDonalds.
Tadi pas turun MRT, sepertinya sih ngeliat sepasang orang yang mirip sama senior di kampus yang udah nikah. Ah tapi mungkin mirip doang kali ya, batin A.
Abang ojeknya masih ngedrop paket dulu di dekat McDonald, jadi A menunggu sebentar di depan McDonald. Ternyata benar, sepasang tersebut adalah senior di kampus! Terjadilah reuni dan basa-basi singkat sebelum keduanya bergegas untuk pergi karena sepertinya sedang buru-buru. Kalau mereka sedang gak buru-buru, mungkin A bakal ajak life update lebih lama lagi karena kemarin belum sempet ucapin happy wedding secara proper. Yah, kalau dipikir-pikir dua orang tersebut namanya masuk di dalam kata pengantar skripsi A sebagai salah dua orang yang berpengaruh karena metode penelitiannya dijadikan referensi dan mereka pun selalu siap sedia buat dimintain waktu.
Sempat juga beberapa tahun lalu saat masih garap skripsi, A berencana untuk minta diajarin sebuah metode lalu ngajak senior perempuan sebutlah T. Namun karena kondisinya mereka sudah pacaran pada saat itu, jadilah senior laki-lakinya ikutan juga. Jatohnya A jadi third wheeling, walau sebenernya diskusinya jadi lebih rich karena mereka berdua ini memang pintar-pintar.
Akhirnya abang ojek tiba juga, A pun segera naik motor dan bersiap untuk pulang. Tiba-tiba smartwatchnya bergetar, takut ada telp atau WhatsApp masuk A pun segera mengecek.
"Congrats, you've achieved 10,000 steps today!"
Wah.. 10,000 langkah ya untuk hari ini padahal jalan sendirian. Setara nanjak gunung. Lumayan lah, olahraga. Hari ini walau banyak me-time nya, A merasa senang karena walaupun sendirian tapi otaknya masih menjadi teman setia yang selalu seru untuk diajak ngobrol.
---
Intermezzo. Saat menuju perjalanan pulang di perempatan lampu merah Pasar Rebo, abang ojek sempat mengambil jalur kiri yang seharusnya ditujukan untuk kendaraan yang hendak belok kiri. Saat itu kondisi memang cukup padat dengan kendaraan dan motor yang ditumpangi A pun sedang berusaha mengambil jalur kanan kembali. Mobil belakang dengan tidak santainya mengklakson yang membuat A dan abang ojek pun terkejut sebelum akhirnya memutuskan untuk memilih sebuah tempat kosong sambil menunggu lampu hijau.
"Mobil Avanza aja udah berasa jalanan milik sendiri ya mbak" nyinyir abang ojek.
A pun mengerti arah candaan ini, dengan segera menimpali "Iya, lebay ya.."
"Ya ampun, baru Avanza aja udah begitu. Gimana kalau BMW ya mbak". A pun membubuhi dengan tawa renyah sekenanya. Sebenarnya dalam hati A ngebatin "mobil begituan modelan G*Car pasti, makanya mode buru-buru", tapi karena G*Car sejatinya masih satu company dengan abang ojek yang sedang ditumpangi ia pun mengurungkan niatnya untuk mengatakan itu.
Yah, apa boleh dikata... namanya juga Jakarta.